FEATURE-Kisah asmara Bung Karno di masa belia

Feature By Abdurrahman

Kata pembuka :
Sehubungan dengan tugas mata kuliah Dasar – dasar Jurnalistik yang diberikan kepada saya, yaitu membuat Feature. Maka perihal tugasnya saya membuat Feature mengenai singkat kisah dan perjalanan asmara yang unik serta penuh liku – liku di masa remaja dari seorang Tokoh perjuangan Republik Indonesia, yang tak lain ialah Ir. Soekarno atau akrab disapa ‘Bung  Karno.



Bung Karno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901, dimana pada masa itu merupakan masa penjajahan dan kolonialisme Kerajaan Hindia Belanda. Beliau adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibunya, Idayu merupakan keturunan Bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibunya. Bapaknya berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodiharjo. Raden merupakan gelar kebangsawanan. Dan bapak berasal dari keturunan Sultan Kediri.


-        Soekarno dan Che Guevara
-          Soekarno dan Kim Il Sung







Semasa menjabat sebagai Presiden pertama RI, beliau menyandang beberapa gelar dan status, yaitu merupakan Pemimpin Besar Revolusi, Sang Proklamator, Presiden pertama RI (1945-1967), Panglima Tertinggi ABRI, dan Mandataris MPRS.




Presiden Soekarno tercatat memiliki 9 istri semasa hidupnya, antara lain :
1.      Siti Oetari (1921-1923)
2.      Inggit Ganarsih (1923-1943)
3.      Fatmawati (1943-1957)
4.      Hartini (1952-1970)
5.      Kartini Manoppo (1959-1968)
6.      Ratna Sari Dewi (1962-1970)
7.      Haryati (1963-1966)
8.      Yurike Sanger (1964-1968)
9.      Heldy Djafar (1966-1968)


Bung Karno wafat di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun. Beliau wafat diakibatkan karena sakit ginjal. Sejak 1967 – 1970 beliau sudah menjadi tahanan politik rezim Orde Baru hingga akhir hayat beliau.







 


Demikianlah profil singkat tentang sosok Bung Karno. Dan berikut ini adalah mengenai masa muda beliau yang menarik untuk kita ketahui.
                                   
Singkat cerita mengenai masa kecil Bung Karno







Aku bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya aku pindah ke Mojokerto., mengikuti orangtuaku yang ditugaskan di Kota tersebut. Di Mojokerto, ayahku memasukanku ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja. Kemudian pada Juni 1911 aku dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkanku diterima di Hogere Burger School (HBS). Pada tahun 1915, aku telah menyelesaikan pendidikanku di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur. Aku dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapakku yang bernama H.O.S Tjokroaminoto.


Kisah asmara Bung Karno di masa belia

Aku sangat tertarik pada gadis – gadis Belanda. Aku ingin sekali berpacaran dengan mereka. Hanya inilah satu – satunya cara yang kuketahui untuk menunjukkan keunggulanku terhadap bangsa kulit putih dan membikin mereka tunduk pada keinginanku. Bukankah ini yang selalu menjadi tujuanku? Agar orang berkulit sawo matang dapat menaklukkan bangsa kulit putih? Itu adalah sebagian tujuan yang harus dicapai. Menaklukkan seorang gadis kulit putih dan membuatnya tergila –gila padaku adalah soal kebanggaan. Seorang pemuda tampan selalu memiliki gadis –gadis sebagai pacarnya. Aku punya banyak. Mereka malahan menyukai gigiku yang tidak rata. Tetapi kuakui aku sengaja mengejar gadis –gadis kulit putih.
   Pacarku yang pertama adalah Pauline Gobee, anak salah seorang guruku. Dia memang cantik dan aku tergila – gila padanya. Kemudian ada Laura. Oh, betapa aku memujanya. Lalu ada lagi keluarga Raat. Mereka ini keluarga Indo-Eropa dengan beberapa putri yang cantik. HBS terletak di arah yang berlawanan dengan rumah keluarga Raat. Sekalipun demikian setiap hari selama berbulan – bulan aku mengambil jalan memutar, sekedar untuk bisa lewat di depan rumahnya dan mencuri pandang padanya. Di dekat situ terdapat Depot Tiga, sebuah Café terbuka dimana seseorang kadang – kadang mengajakku minum dan di sanalah kami semua dapat duduk dengan gembira dan memandangi gadis – gadis Belanda itu lewat.
   Kemudian, bagai suatu cahaya yang bersinar dalam kegelapan, datanglah Mien Hessels dalam kehidupanku. Laura pergi, keluarga Raat pergi, demikian juga kegembiraan Depot Tiga. Sekarang aku memiliki Mien Hessels. Dia sama sekali milikku dan aku benar – benar mabuk cinta kepada bunga tulip berambut kuning dan berpipi merah muda ini. Aku rela mati untuknya bila dia menginginkannya. Umurku baru 18 tahun dan tidak ada yang lebih kuinginkan dalam hidup ini selain memiliki jiwa dan raganya. Aku mendambakannya dengan penuh gairah dan aku sampai pada kesimpulan, aku harus mengawininya. Tak ada yang dapat memadamkan api cintaku. Dia ibarat lapisan gula di atas kue yang takkan pernah bisa ku beli. Gadis itu berkulit lembut dan berambut ikal dan dia memenuhi semua yang ku idamkan. Bagiku, dapat memeluk Mien Hessels ibaratnya seperti memiliki kekayaan yang tak ternilai.
   Aku akhirnya memberanikan diri untuk menghadap ayahnya. Aku mengenakan pakaianku yang paling bagus. Aku memakai sepatu. Sambil duduk di kamarku yang gelap aku menghafalkan kata –kata yang akan ku ucapkan kepadanya, tetapi ketika aku mendekati rumah yang bagus itu aku gemetar ketakutan. Aku tak pernah merasakan demikian ketika bertamu ke manapun. Halaman itu diselimuti rumput hijau, dengan barisan tanaman bunga tumbuh lurus dan tegak bagai serdadu. Aku tidak punya topi untuk dipegang, tapi sebagai gantinya aku memegang hatiku.
   Dan disitulah aku berdiri gemetar, dihadapan ayah dari kekasihku, seorang dengan tinggi enam kaki, yang menatap tajam kepadaku sepertinya aku ini kutu di atas tanah. “Tuan,”kataku.”Kalau Tuan tidak berkeberatan, aku bermaksud meminta putri Tuan untuk kuajak hidup dalam suatu ikatan perkawinan ….”
    “Kamu? Inlander kotor seperti kamu?” kata tuan Hessels sambil meludah,” Berani – beraninya kamu mendekati anakku. Keluar, kamu binatang kotor. Keluar!”
    Dapatkah orang membayangkan betapa terpukulnya aku? Dapatkah orang percaya, noda yang dicorengkan di muka ku ini pada suatu saat akan terhapus? Perihnya terasa sedemikian hebat, sehingga saat itu aku berpikir,”Ya Tuhan, aku tak akan dapat melupakan ini.” Sementara aku merasa pasti, jauh dalam lubuk hatiku aku tidak akan dapat melupakan dewi ku yang berparas bagai bidadari, Mien Hessels.
      Sekitar 23 tahun kemudian-tepatnya 1942. Zaman perang. Aku sedang melihat – lihat etalase dari toko keperluan pria di jalanan utama Jakarta, ketika aku mendengar suara dibelakangku, “Sukarno?”
    Aku berbalik dan melihat seorang perempuan yang tak kukenal,”Ya, aku Sukarno.”
      Dia tertawa terkekeh –kekeh, “Dapatkah kau menebak siapa aku?”
  Kuperhatikan dia dengan teliti. Dia seorang Nyonya tua dan gemuk. Jelek, tubuhnya tak terurus. Karena itu aku berkata, “Tidak, Nyonya, tidak dapat. Siapa Anda?”
    “Mien Hessels,” dia terkekeh lagi.
   Huhhhh! Mien Hessels! Ratuku yang cantik seperti bidadari itu sudah berubah menjadi perempuan sihir. Kau tak pernah melihat perempuan yang tua dan jelek seperti ini. Mengapa dia membiarkan dirinya sampai begitu. Dengan cepat aku memberi salam kepadanya, dan terus berjalan sambil mengucap syukur dan memuji Tuhan yang Maha Penyayang karena telah melindungiku. Caci –maki yang telah dilontarkan ayahnya dulu sesungguhnya adalah rahmat yang terselubung bagiku. Kalau dipikir – piker, dulu aku telah terlambat pada perempuan ini. Aku bersyukur kepada Tuhan atas perlindungan yang telah diberikan-Nya.

Sumber : Bung Karno
                Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

By        : Cindy Adams

Komentar

Postingan Populer